Selasa, 06 Oktober 2020

Mempersepsikan Apel Emas Aphrodite

 


Postingan kedua ini tetap mengambil jalur "asal nulis" seperti halnya postingan pertama, yaitu melakukan aktifitas menulis yang tidak memperdulikan kesesuaian dengan kaidah penulisan, mohon dimaklumi. Hanya melalui pembebasan diri dari pakem kaidah penulisan, saya berharap "suka dan akrab" terlebih dahulu dengan aktivitas blogging ini. Bisa diibaratkan dengan anda yang baru saja bertemu seseorang, dari sekilas pertemuan tersebut anda merasa suka, lalu ingin memiliki hubungan akrab satu sama lain, di tahap berikutnya ditentukan oleh bagaimana tujuan dari hubungan tersebut, entah itu hubungan intim yang mesra juga diselimuti dramatisasi atau mungkin hanya "just have fun". Dalam blog DiPERSEPSI ini saya mengharapkan kemesraan dan memenuhi prinsip kemanfaatan, serta menikmati setiap kebuntuan ide maupun menyusun kerangka berpikir, juga berusaha menjangkau hal-hal yang "tidak perduli apa yang orang lain katakan (sambil tersenyum culas seperti ekspresi tokoh antagonis sinetron ~ tolong jangan dibayangkan, ya!)"

DiPERSEPSI selain yang sudah saya tuliskan di postingan pertama, juga merupakan media saya untuk selalu berinteraksi dengan internet. Saya adalah manusia yang hidup di abad 21 ini menganggap internet seperti halnya Dewi Aphrodite, segala hal dapat dilakukan jika kita memiliki kemauan dan kemampuan terjun di internet maka apel emas Aphrodite akan didapat (uang, ketenaran, dll, seperti yang sudah banyak didapatkan oleh YouTubers). Saat ini, semua orang tergila-gila dengan internet, tak terkecuali saya, walaupun di satu-sisi lebih kepada penopang rutinitas pekerjaan, hehehe. Namun, pilihan akan menjadi orang seperti apa dan memanfaatkan internet dengan bagaimana kembali ada pada diri kita sendiri, seperti kisah apel emas Aphrodite.


Dalam sebuah kisah mitologi Yunani, semua dewa dan manusia berusaha memperebutkan apel tersebut, bahkan banyak juga yang berniat mempersunting dewi tercantik ini. Namun, sang dewi kecantikan memiliki hasrat seksual yang berapi-api yang tidak banyak orang mengetahuinya, mampu membuat pria biasa menjadi bijaksana atau sebaliknya menenggelamkannya dalam keputusasaan "perang" berkepanjangan. Aphrodite membuat cinta segitiga yang paling epic dalam cerita percintaan dewa-dewi. Dia mencintai Hephaestus seorang dewa penyendiri yang giat belajar serta bersahaja dengan kebijaksanaannya. Juga mencintai Ares seorang perkasa yang memiliki gelar dewa perang karena kecenderungannya mendominasi serta bertabiat kasar, hanya ketika bersama Aphrodite-lah Ares ini bisa menenangkan diri.


Hephaestus yang penyendiri tidak menuntut Aphrodite memberikan apel emas kepadanya, cukup dengan berdiskusi - misalnya mendengarkan Aphrodite menceritakan kisah Troya - cukup membuatnya bahagia. Bagi Hephaestus, Aphrodite sumber inspirasinya. Cerita-cerita dari Aphrodite sebagai bahan tulisan dan gagasan, Hephaestus tak peduli pada apel emas. Sikap Hephaestus yang bersahaja meluluhkan hati Aphrodite. Sedangkan kekasih lainnya, Ares yang sangat menginginkan apel emas berjuang keras untuk mendapatkannya. Segala cara dia lakukan, sampai kisah Perang Troya disebut-sebut Ares juga terlibat, semata-mata hanya untuk menundukkan hati Aphrodite agar mendapat apel emas tentunya. 


Kisah itu hanyalah mitologi kuno, namun terasa familiar dengan melihat kecenderungan penggunaan internet. Misalnya, seorang pecandu games online rela menghabiskan waktu dan tenaga demi games (bahkan ada banyak kasus rela mencuri demi membeli kuota internet atau membeli item-item games). Sebaliknya, ada banyak kisah seorang yang belajar secara otodidak melalui media-media di internet sehingga dapat menghasilkan suatu karya dan mampu membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain. Pilihan bagaimana mencintai Aphrodite ada pada diri kita. Sedangkan jika anda menanyakan kepada saya tentang bagaimana seharusnya, maka berikan saya waktu sejenak untuk membayangkan wujud juga rupa Aphrodite sang dewi tercantik di Olympus, hehehe. Kok bisa-bisanya semua dewa dan manusia tunduk padanya!


0 Comments:

Posting Komentar